sejak orok orang betawi demen humor
Semalaman mereka dihibur banyolan-banyolan. Tidak jarang acara berlanjut sampai pagi. Lenong seperti menjadi identitas baru bagi kebudayaan Betawi. Bahkan, lanjut dia, lenong waktu itu sesungguhnya juga media perlawanan terhadap kolonialisme di Jakarta.
Di setiap pementasan, ada pesan-pesan sosial. Meski kadang hanya berupa banyolan-banyolan pengocok perut, kalau diamati sebenarnya tidak picisan. Ada protes-protes sosial, misalnya kisah 1001 Malam, Si Pitung melawan kumpeni, tuan tanah menindas orang lemah, kemudian muncul jawara pembela orang kecil. ”Karena dulu, cara orang-orang Betawi bertahan dari kolonialisme lewat humor,” tuturnya
Selain lenong, sebenarya ada teater komedi lain, yakni topeng Betawi. Menurut Rizal, berdasar catatan sejarah, kesenian ini sudah ada sejak akhir abad ke-17. Hingga kini, budaya itu terus berproses tiada akhir. Suguhan humor lewat lenong dan topeng terus digandrungi. ”Humor bagi orang Betawi itu seperti gigi dan gusi. Sejak masih orok orang Betawi sudah demen sama humor,” katanya.
Maka jangan heran banyak pelawak Betawi lahir dari lenong dan topeng. Misalnya Mandra, Omas, Pak Tile, Malih, Bolot, dan Bokir. Lalu bagaimana menurut Rizal kondisi mereka kini? Bila pemerhati kebudayaan Betawi, Alwi Shahab, berpendapat kondisi pelawak Betawi mulai surut karena pengaruh budaya-budaya modern maka tidak demikian dengan Rizal.
Menurut dia, penyebab surutnya regenerasi pelawak di Jakarta bukan karena pengaruh budaya baru. Kenyataannya, dia melanjutkan, sudah sejak lama orang Betawi hidup berdampingan dengan pelbagai kelompok dari belahan bumi lain, plus rupa-rupa kebudayaan dan kesenian mereka. Tapi orang Betawi tetap bertahan sampai sekarang. ”Dari dulu orang Betawi itu hasil persilangan, mereka punya kemampuan bertahan,” kata dia.
Artinya, Rizal menjelaskan, di dalam kebudayaan ada proses institusionalisasi dari generasi ke generasi. Kalau sekarang kendor, pertanyaan seharusnya ditujukan ke lembaga memiliki tanggung jawab sosial, Dinas Kebudayaan, Pemerintah DKI Jakarta. Selama ini masyarakat sudah membayar pajak, apakah lantas dinas kebudayaan benar-benar sudah memperhatikan seniman, budayawan, dan pelawak? Apakah mereka dibiarkan hidup sendiri?
”Atau adakah sesuatu membuat mereka itu dihargai. Misalnya difasilitasi buat manggung di luar negeri, luar daerah. Orang tentu melihat hidup sebagai pelawak ini punya masa depan menjanjikan atau tidak, punya kemampuan bertahan hidup atau tidak. Masalahnya di situ,” ia menegaskan.
0 komentar:
Posting Komentar