Pages

DARAH DAN AIR MATA DI TANAH PAPUA


Darah dan air mata di tanah Papua
Pengalaman nahas itu sudah berlalu hampir setengah abad. Namun korban saat itu 16 tahun masih ingat betul ketika ia ditangkap di Kampung Sasnek oleh tentara dari Komando Daerah Militer (Kodam) Pattimura. Tangannya diborgol lalu ia ditelentangkan di tanah. Sejumlah prajurit lantas menginjak-injak tubuhnya. Bersama beberapa orang lainnya, ia diangkut menggunakan kapal Angkatan Laut menuju Sorong kemudian disekap di tahanan Komando Distrik Militer.

Warga Sorong ini mengaku kepalanya kerap dipukuli kayu dan gagang senjata. "Tentara memaksa saya minum air kencing. Saya masih ingat anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) menyiksa saya di tahun itu, namanya Kopral Paulus," katanya. Ia dibebaskan pada 1970 setelah lima tahun mendekam di penjara.

Ia merupakan satu dari 108 saksi diwawancarai tim peneliti Lembaga Studi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua bersama International Center for Transitional Justice (ICTJ), lembaga nirlaba pemantau hak asasi berpusat di Kota New York, Amerika Serikat. Demi alasan keamanan, saksi diberi nama sandi SRG002. Selama tiga bulan sepanjang tahun lalu mereka meminta keterangan 76 korban di Biak, Manokwari (12), Paniai (10), dan Sorong (10).

Peristiwa dialami SRG002 pada 1965 itu berlangsung saat tentara gabungan dari kodam Pattimura, Cendrawasih, Hasanuddin, dan Udayana menggelar operasi gabungan di beberapa kampung buat menangkap masyarakat pengibar Bintang Kejora. Bendera ini berkibar pertama kali pada 1 Desember 1961 dan setahun kemudian diharamkan saat Papua Barat berada di bawah kontrol Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA). Baru satu dekade terakhir, Bintang Kejora boleh dikibarkan dengan syarat bersebelahan dengan Merah Putih.

SRG002 menceritakan pula kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak gadis di Kampung Ayamaru. Serdadu-serdadu dari Kodam Pattimura mengumpulkan perempuan-perempuan muda buat dijadikan budak seks saban malam. Mereka juga dipaksa menari telanjang. Tak satu pun warga berani menegur atau marah. "Saya lihat tapi hanya bisa menangis," ujar SRG002.

Seorang saksi di Manokwari adalah mantan anggota Batalion 751 pernah ditempatkan di Puay, Jayapura, pada 1972. Bersama rekan-rekannya, saksi bersandi MAN008 ini mengaku diperintahkan menembak mati sepuluh pendduduk setempat dan sepuluh lagi warga Telaga Maya (Sentani, Jayapura).

Laporan berjudul Masa Lalu Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi itu menyimpulkan pemerintah Indonesia bertanggung jawab menurut hukum internasional untuk menyelidiki dan mengadili mereka bertanggung jawab untuk pelanggaran hak asasi berat. Pelanggaran itu terbagi dalam tiga periode: 1960-1969 (sebelum Pepera), 1969-1998 (antara Pepera dan sebelum reformasi), dan 1998 (selepas reformasi). Pepera merupakan referendum digelar pada Agustus 1969. Hasilnya, 1.025 wakil rakyat Papua sepakat bergabung dengan Indonesia.

TNI menolak tudingan ELSHAM Papua dan ICTJ itu. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul, kedua lembagai itu sah-sah saja melempar tuduhan, namun ia meminta masyarakat tidak terpengaruh dengan laporan diluncurkan di Jakarta, Jumat pekan lalu, itu.  
Ia mengakui telah terjadi pelanggaran hak asasi di Papua, namun kategorinya ringan. "Definisi pelanggaran HAM berat itu adalah genosida (pembantaian massal), seperti pembantaian satu kampung atau satu generasi," kata Iskandar saat dihubungi merdeka.com, Senin lalu.

Ia mencontohkan pelanggaran hak asasi ringan pernah dilakoni personel TNI di antaranya menyundut dengan puntung rokok, menempeleng, menampar, dan memukul menggunakan popor senapan. Dua tahun terakhir, ia mengungkapkan sekitar 20 tentara terbukti melakukan pelanggaran hak asasi ringan. Sanksinya beragam, mulai dari teguran, penjara, hingga pemecatan.

Saling tuding antara lembaga nirlaba dan pemerintah boleh jadi tak ada habisnya. Persis seperti darah dan air mata masih membasahi tanah Papua.

0 komentar: